Jalan-jalan ke Cirebon, Kota Santri

Via tulisan ini saya mencoba berbagi sedikit tentang kota Cirebon. Sejauh pengetahuan penulis tentang Cirebon, Cirebon itu kota wali (Sunan Gunung Jati), kota leluhur, kota dengan gerakan Cirebon Tanpa Pacaran, kota Islam Kerajaan Pajajaran, Ulama Buya Yahya dan lain-lain.

Perjalanan ke Cirebon dalam rangka acara KMNU ITB : Wisata Rohani, Goes to Cirebon. Yah itulah, (KMNU ITB) komunitas alumni pesantren dan orang yang cinta pesantren & Kiayi-nya. Komunitas ini sudah dua kali melalukan acara serupa ini, yang pertama tahun 2013 ke PP. al-Falah Biru Garut, PP. Cipasung Tasikmalaya dan ke Goa Saparwadi & Pamijahan.

Foto Bersama KH. Muchlis PP. al-Falah Biru. Credit to Badar

Foto Bersama KH. Muchlis PP. al-Falah Biru. Credit to Badar

Rihlah to Pesantren 2013. PP. Cipasung-Tasikmalaya

Rihlah to Pesantren 2013. PP. Cipasung-Tasikmalaya

Baru yang kedua tahun 2015 adalah Cirebon, dengan rute PP. Kempek Cirebon, LPD. al-Bahjah, Makam Sunan Gunung Jati, Masjid Panca Warna/Merah, dan Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Kami (KMNU ITB) berangkat dari kampus sekitar jam 10.00 WIB, sampai di kompleks Pesantren Ciwaringi & makam Syekh Abdul Hannan sekitar jam 12.30 WIB.

Sesi Foto di Depan Pesantren Ciwaringin. Credit to Rozaq&Hirzan

Sesi Foto di Depan Pesantren Ciwaringin. Credit to Rozaq&Hirzan

Perjalanan dilanjut ke Pesantren Kempek Cirebon, salah seorang dari kami adalah alumni pesantren ini, mas Azka namanya. Mas Azka adalah komandan, mentor, idola dan panutan kami teruma ketika belajar Islam dan Aswaja. Sayang di pesantren ini kami belum bisa sowan ke pengasuh pesantren ini karena beliau sedang berada di luar kota. Perjalanan kami lanjutkan kembali menuju LPD (lembaga pengembangan dakwah) al-Bahjah. Kami merasakan kehidupan yang sejuk dan jauh dari hiruk pikuk urusan dunia di lingkungan pesantren ini, disana-sini dan dimana-mana mengaji-mengaji dakwah-dakwah dan yang terpenting urusan dunia & akhirat diniatkan untuk akhirat, intinya fokus di akhirat tanpa meninggalkan dunia.

Nuansa tradisi pesantren salaf yang saling menghormati, menjamu tamu dengan semaksimal mungkin juga lekat pada pesantren ini. Hmmm, enaknya disini, pikirku saat itu. Selepas istirahat malam, kami mengikuti pengajian minggu pagi (jam 07.00-09.00 WIB) yang membahas tentang kitab Riyadush-Shalihin Babakan Zuhud bersama Buya Yahya, Buya yang subuh baru tiba di pesantren selepas dari tour dakwah beliau rute Pontianak-Bogor. Beliau begitu antusias dan semangat mengajari kami dalam menguraikan dan menjelaskan isi kitab Riyadush-Shalihin. “Luar biasa semangat dakwah guru kita ini (Buya Yahya), tak kenal lelah, padahal subuh baru pulang dari Pontianak-Bogor, kalau saya mah paling istirahat dulu“, kata seorang guru di pesantren al-Bahjah.

Sesi Foto Bersama Ulama Cirebon, Guru Kami : Buya Yahya

Sesi Foto Bersama Ulama Cirebon, Guru Kami : Buya Yahya

Kala pengajian itu, ada seorang yang bertanya tentang isu yang sedang hangat di kalangan umat islam saat ini (Mei, 2015) yaitu baca al-Qur’an dengan laggham jawa. Bagaimana jawaban beliau, bisa dilihat dalam video berikut.  Saya yang secara langsung hadir dalam majelis ini menangkapnya begini, orang membaca al-Qur’an itu harus paham dan mengerti Lisan Arobbi, maksudnya harus tahu dan mampu memenuhi hak-hak huruf, baik itu makhorijul khuruf, tajwid dan qiroah sab’ahnya (7 cara baca al-Qur’an yang mutawattir sampai Rosulullah). Bagaimana kalau sudah memenuhi hak-hak huruf tapi tetap tidak bisa atau tidak pernah belajar mengikuti logat, lagu, laggham yang biasa orang Arab ucapkan, salahkah ?, saya menangkapnya ya tidak apa-apa, memang tidak bisa dipaksakan kepada setiap orang harus persis dengan laggham Arab atau luhunul Arabi (Bayati, Shoba, Hijazi dan seterusnya). Logat inggris, Jawa, Tiongkok dan Arab pasti berbeda. Meskipun belajar luhunul Arabi logat akan tetap menempel pada orang karena logat orang tiap daerah tidak bisa dengan mudah dirubah.

Berikut ini hukum-hukum membaca al-Qur’an dengan laggam (logat) daerah dari sumber yang pro laggham 1, 2, 3, 4, . Senakap saya, yang tidak boleh itu bacaan al-Qur’an yang dicocok-cocokkan dengan sebuah lagu (garuda pancasila misalnya) sehingga hak-hak huruf malah berantakan. Tetapi kalau lagu harus tunduk pada pemenuhan hak-hak huruf (makharijul khuruf, tajwid dan qira’ahnya) maka boleh dilakukan, akan tetapi sulit sekali mendapatkan lagu yang baik, lagu yang paling pas ya lagu luhunul Arabi (Bayati, Hijazi dan seterusnya). Huh, ya begitulah setiap orang punya pendapatnya masing-masing, terserah dan bebas bagi Anda untuk mengikuti dan meyakini yang mana.

Sesi Foto di Samping Aula Pengajian LPD al-Bahjah

Sesi Foto di Samping Aula Pengajian LPD al-Bahjah

Perjalanan berlanjut kembali sekitar pukul 11.30 WIB menuju makam Sunan Gunung Jati. “Her, kalau kamu besok ke Bandung, jangan lupa kunjungi dan sowan ‘pemiliki’ tanah Jawa Barat ya, khususnya Sunan Gunung Jati” dawuh kiyai saya ketika baru keterima di ITB. Pesan itu selalu teringat di kepala, namun sangat sulit mewujudkannya, sampai ada acara yang diadakan KMNU ITB ini. “Alhamdulilah” dalam batinku kala itu. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan ke kasultanan kasepuhan Cirebon dan masjid Merah Cirebon.

Foto di Depan Gerbang Kasultanan Kasepuhan Cirebon

Foto di Depan Gerbang Kasultanan Kasepuhan Cirebon

Sholat dhuhur di masjid Merah Cirebon

Sholat dhuhur di masjid Merah Cirebon

Tepat pukul 14.00 WIB, kami memutuskan pulang menuju Bandung.

Sekian.

-mhy, 2015

This entry was posted in ITB, Opini, Trip and tagged , . Bookmark the permalink.

1 Response to Jalan-jalan ke Cirebon, Kota Santri

  1. ikut dong jalan jalan ke cirebon

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.